Jumat, 30 Januari 2009

‘Bahasa Gaul’ di Kalangan Remaja

“Bahasa yang digunakan seseorang mencerminkan pribadinya”

Gaul, dong! Pede aja lagi! Kasihan deh, lo! Nyantai aja, Coy! Begitulah antara lain “bahasa gaul” yang seringkali kita dengar di kalangan remaja kini. ‘Bahasa gaul” itu seakan telah menjadi bahasa resmi mereka. Bahkan bila dalatn pergaulan mereka ada diantaranya yang menggunakan bahasa Indonesia - katakanlah - yang baku, penggunaan bahasa tersebut seolah terdengar aneh dan dianggap norak dalam komunitasnya. Nggak salah, sih, apabila para remaja menggunakan “bahasa gaul”. Sedangkan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tentu Pusat Pembinaan Bahasa yang lebih berkompeten mengurusnya, Yang jelas-jelas salah adalah, jika “bahasa gaul” yang digunakan bersinggungan dengan nilai-nilai moral dan agama. Namun nyatannya, disadari atau tidak, justru hal itu yang sering terjadi. Dengan kata lain, banyak penggunaan “bahasa gaul” yang makna aplikatifnya cenderung tidak dibatasi oleh nilai-nilai atau norma-norma tadi (norm/essness).

Gaul, dong!

Dalam konteks sosial pergaulan remaja, “gaul” bukanlah sekedar kata.. Melainkan sudah menjadi semacam istilah atau ungkapan yang ruang lingkupnya menyentuh berbagai perilaku atau gaya hidup remaja. Sayangnya, istilah atau.ungkapan itu cenderung bertentangan dengan nilai atau norma-norma yang ada. Contohnya, berpacaran dengan ngeseks-nya, minum minuman keras (ngedrink), menggunakan obat terlarang (ngedrugs), berjudi (ngegambling) atau yang lainnya dianggap “gaul”. Begitu pula dengan kebiasaan nongkrong, ngeceng, atau yang jainnya. Lebih tegasnya, makna “gaul” lebih berkonotasi negatif. Kata “gaul” yang sudah menggejala bahkan membudaya itu, disadari atau tidaK memiliki makna psikologis yang relatif cukup kuat pengaruhnya dalam komunitas pergaulan remaja. Akibatnya karena ingin disebut “gaul”, tidak sedikit diantara remaja yang ikut-ikutan untuk segera memiliki pacar, ngedrink; nyimenk, ngedrugs, atau yang lainnya termasuk nongkrong atau ngecengnya. Entah di pinggiran jaian, di mal-mal, di tempat-tempat hiburan, dan lain sebagainya. Istilah mereka : “Gaul dooong…”

Pede aja, lagi!

“Pede” (PD) adalah “bahasa gaul” yang mengungkapkan perlunya seseorang u.ntuk “percaya diri”, Namun ironisnya, himbauan, saran, atau perlunya seorang untuk bersikap “percaya diri1 ini juga cenderung tidak dibatasi oleh norma-norma tadi, Misalnya seorang gadis berok mini dan berbaju you can see disarankan untuk “pede” (baca : percaya diri) dengan pakaiannya itu. Bahkan bisa jadi si gadis memang merasa lebih “pede” dengan model pakaian demikian. “Pede aja lagi !” Begitulah bahasa mereka. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan perlunya seseorang untuk bersikap “pede” namun tetap normlessness seperti tadi. Sebab ukuran “pede” yang seharusnya berlandaskan pada keluhuran nilai-nilai moral dan agama, terkikis oleh hal-hal yang bersifat fisik dan kebendaan. Contoh lainnya, seseorang merasa “pede” hanya lantaran kecantikan atau ketampanan wajahnya semata, “pede” hanya jika ke sekolah atau ke kampus membawa motor atau mobil, “pede” cuma karena mengandalkan status sosial keluarga, dan masih banyak kasus yang lain, Sedangkan merasa “pede” setelah memakal deodoran di ketiak, itu sih, tidak menjadi masalah. Daripada bauket dan mengganggu orang lain ? Ukuran “pede” seperti itu, jelas nggak bermutu, selain juga keliru. Pasalnya, pemahaman “pede” harus lebih ditempatkan dalam ukuran atau standarisasi nilai-nilai ahlak. Bukan karena landasan fisik dan kebendaan semata.

Kasihan deh, Lo!

Ungkapan ini juga termasuk bahasa gaul yang masih cenderung normless. Sebab ungkapan tersebut seringkali terlontar pada konteks yang tidak tepat. Sebagai contoh, seorang remaja yang tidak mau mengikuti tren tertentu dianggap : “Kasihan deh, Lo!”. Begitu pula dengan remaja yang membatasi diri dari perilaku lainnya yang sesungguhnya memang perlu/harus dihindari karena tidak sesuai dengan nilai atau norma-norma agama (Islam). Misalnya karena.tidak pernah “turun” ke diskotek lengkap dengan ngedrink atau ngec/njgsnya, ataupun perilaku negatif lain yang sudah menjadi bagian dari gaya hidup remaja. Bisa juga ungkapan “Kasihan deh, Lu” ini tertuju pada remaja yang sama sekali tidak mengetahui berbagai informasi yang memang sesungguhnya juga tidak perlu untuk diketahui. Seperti tidak mengetahui siapa sajakah personil bintang “Meteor Garden” yang tergabung dalam “f4″ itu ? Siapa pula “Delon” itu? Atau yang lainnya

Nyantai aja, Coy!

Kekeliruan lain yang juga menggejala dalam “bahasa gaul” remaja adalah ungkapan : “Nyantai aja, Coy!” Tentu tidak masalah dalam kondisi tertentu kita “nyantai”, lebih tepatnya adalah “bersantai” atau istirahat untuk menghilangkan kepenatan. Namun yang menjadi masalah apabila “Nyantai aja, Coy” disini konteksnya mirip dengan lagu iklan Silver Queen : “‘…mumpung kiitaa masih muda, santai saja…” Ingat kan ? “Nyantai aja, Coy!” yang dilontarkan sebagian remaja seringkali bermakna ketidakpedulian terhadap kemajuan atau prestasi diri. Sebagai contoh, seorang remaja mengatakan, “Nyantai aja, Coy!” kepada temannya, karena temannya itu terlihat gelisah lantaran belum belajar untuk persiapan ujian besok pagi, “Nyantai aja, Coy!” terkadang bisa pula menunjukkan ketidakpedulian terhadap lingkungan sosial atau orang lain. Misalnya, seorang remaja putri sedang asyik ngobrol di telepon umum sementara banyak orang antri menunggu giliran. Ketika salah seorang yang antri menegurnya, ia malah menjawab “Nyantai aja, Coy!” Jika mau dicermati tentu masih banyak ungkapan : “Nyantai aja, Coy!” yang sering dilontarkan para remaja namun tidak sesuai dengan konteksnya bahkan menafikan keluhuran nilai-nilai akhlak, Repotnya, apabila mereka dinasihati untuk men}auhi berbagai perilaku yang tidak baik, termasuk dalam menggunakan ungkapan yang tidak tepat (karena tidak sesuai dengan konteksnya), maka dengan mudahnya mereka malah berbalik mengatakan, “Nyantai aja, Coy!”

Membudayakan bahasa gaul yang positif

Berbagai ungkapan seperti: “Gaul, dong!”, “Pede aja lagi!”, “Kasihan deh, Lo!”, “Nyantai aja, Coy!” atau mungkin berbagai ungkapan lain, dalam konteksnya sekali lagi seringkali tidak tepat atau tidak dibatasi oleh nilai-nilai : baik atau buruk. Karena ungkapan-ungkapan “bahasa gaul” itu mempunyai pengaruh psikologis yang relatif cukup kuat dalam mempengaruhi seorang remaja dalam komunitas pergaulannya, maka perlu adanya semacam upaya membudayakan “bahasa gaul” yang “positif” di kalangan mereka.
Contoh yang benar menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut disesuaikan dengan konteksnya atau sejalan dengan nilai-nilai moral adalah sebagai berikut :

Ungkapan Gaul dong!.

“Sebagai seorang pelajar atau mahasiswa, gaul dong dengan buku!”
“Masak pelajar atau mahasiswa gaulnya dengan ngedrugs, nongkrong, ngeceng, lagi”.
“Masak remaja muslim gaulnya seperti itu. Gaul dong dengan remaja masjid”.

Ungkapan Pede aja, lagi!

“Kalau sudah belajar, pede aja lagi!”
“Kalau kita berada dalam kebenaran, pede aja lagi!”
“Kalau sudah berpakaian sopan, kenapa mesti tidak pede!”

Ungkapan Kasihan deh, Lo!

“Kasihan deh Lo! Masak ngaku pelajar atau mahasiswa tapi berurusan dengan polisi (karena terlibat narkoba misalnya).”
“Masak seorang muslim tidak bisa baca Al Quran. Kasihan deh, Lo! “

Ungkapan Nyantai aja, Coy!

“Kalau kita sudah belajar dengan maksimal, nyantai aja menghadapi ujian.”

Sebagai remaja yang memiliki kemampuan berpikir, tentu kita tidak mau dong termasuk orang yang “asbun” alias “asal bunyi” dalam bicara. Nah karena itu, sebaiknya kita meninjau kembali apakah “bahasa gaul” yang setiap hah kita gunakan itu sudah sesuai tidak konteksnya dengan nilai-nilai kesopanan dan moral. Biar nggak asal bunyi. Bahasa yang digunakan seseorang mencerminkan pribadinya. Silakan saja menggunakan “bahasa gaul” sebagai cerminan bahwa kita memang remaja yang senang bergaul. Namun hati-hati, jangan karena kita merasa bangga jadi “anak gaul” tetapi “bahasa gaul” yang kita gunakan tidak tepat konteksnya atau bertentangan dengan nilai-nilai kesopanan dan moral. Sebab jika demikian bisa-bisa kita justru disebut “anak yang salah gaul”. Ya nggak?!

*Penulis adalah penulis buku dan pemerhati masalah sosial remaja, tinggal di Bogor



sumber :apit.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar